Dua Pasang Hati
A
A
A
Dalam heningnya, Echa membaca raut wajah sobatnya yang sampai detik ini sama sekali belum lepas dari kakak kandung Gavin.
Ia tahu betul siapa yang sudah berhasil memiliki hati sahabatnya itu, bahkan dalam hati ia berharap ada keajaiban untuk kisah cinta yang seharusnya tak perlu terjadi ini pada sahabatnya. Seusai memanjakan mata dengan pemandangan sunset yang memukau di pinggir Pantai Benoa, keempatnya memikirkan acara apa yang asyik untuk malam.
Pasalnya sudah beberapa hari ini, keempatnya menghabiskan malam di bar-bar ternama di Bali. Sepertinya, mereka butuh meluangkan waktu bersama-sama, di Villa yang cukup mewah nan luas milik keluarga Gavin. “Hmm...malam ini gimana kalo kita ngadain barbeque -an di vila? Pada setuju?” cetus Ardio tiba-tiba. Lara dan Echa mengangguk tersenyum, setuju ide brilian dokter bedah jantung tersebut. “Ok! Kalo gitu, gimana kalo sekarang kita belanja keperluannya dulu? Deket vila ada minimarket kecil. Yuk, jalan!” ajak Gavin kemudian.
Keempatnya pun meluncur langsung menuju mini market yang ada di dekat vila. “Astaga!” Echa melonjak kaget saat menemukan ada satu koper besar yang diletakkan di ruang tamu vila mereka. Anehnya, tidak ada mobil ataupun tanda-tanda kehidupan di vila, bahkan sang penjaga vila pun tak menongolkan dirinya. Tapi tau-tau... Lara menemukan sepatu keds biru yang pernah dilihatnya sekali. Apa Keenan di sini?
Hatinya melonjak senang. Dan tak perlu menunggu lama, pria yang hari itu mengenakan kacamata dan pakaian santai, tiba-tiba saja masuk dari arah luar. Nggak tahu kapan datangnya, tapi dia tiba-tiba aja nongolin diri. “Keenan, koper itu punya lo?” Ardio langsung bertanya penuh curiga. Echa menatap binar mata Lara penuh lega, sekaligus mendapati wajah sahabatnya berubah senang. Pria irit ngomong itu hanya mengangguk.
Selanjutnya, tanpa disadari Keenan, matanya refleks menatap genggaman tangan Gavin yang begitu erat pada Lara, yang mengakibatkan aura panas keluar langsung dari dalam tubuhnya. Pria itu mengibaskan pakaiannya, dan mencuri pandang ke arah lain. Lara sadar kalau tatapan datar yang menusuk dari Keenan itu jelas terarah pada genggaman Gavin yang erat padanya, ia bermaksud melonggarkannya, tetapi adik Keenan itu tidak sama sekali melepasnya. Malah, ia melingkarkan tangannya di pundak Lara.
“Habis dari mana aja kalian?” tanya cowok itu menatap mata mereka satu per satu, kecuali Lara. “Seharian ke Tanjung Benoa, water sport . Kok nggak bilang sih kalo lo nyusul? Bukannya kerjaan lo banyak?” tanya Gavin baik-baik. Tapi, bukan seorang Keenan namanya kalo ngejawab sesuatu dengan ramah, “Dokter kan juga butuh liburan. Buktinya Ardio aja bisa nyusul ke sini. Gue nggak boleh?” Ketiganya langsung diam seribu bahasa, hanya Lara yang berani memelototi Keenan marah, ia merasa kesal tiap kali Keenan selalu judes sama adiknya sendiri.
Tetapi Keenan memandang ke arah lain, tak peduli dengan ancaman mata Lara yang mengawasinya, dia malah dengan cueknya membawa kopernya ke kamar, diikuti Ardio dan Gavin yang membawa belanjaan ke dapur belakang. “Wih...Ra, bakalan seru nih gue liat persaingan ketat antara kakakadik yang sama-sama cinta elo,” goda Echa sepeninggal ketiga cowok itu.
“Sst! Enak aja lo ya kalo ngomong. Ngapain sih lagian si Keenan nyusul? Udah bagus dia di Jakarta!” gerutu Lara sebal. Tetapi sobatnya itu tahu betul isi hati Lara yang sebenernya bahagia luar biasa saat tau pujaan hatinya di sini. Echa sengaja menyikut lengan sahabatnya, “Sok lo... ngapain Keenan nyusul lo pikir gue nggak tahu, kalo lo seneng dia ada di sini? Hah?” selanjutnya gadis cantik itu tertawa. “Bacot banget lo, Cha! Ih, siapa sih yang seneng.” Lara masih menutupinya.
“Eh, Keenan... mau ngobrol berdua ya sama Lara?” Echa menjahili sahabatnya, berpurapura mengintip seolah Keenan berdiri di belakang Lara. Sontak Lara refleks nengok ke belakang, dan baru sadar kalo Echa cuma menjahilinya. “ECHA! Monyet lo emang!” Echa melet-melet, “Cieeeee.....” Echa keburu melarikan diri sebelum Lara mengejarnya, dia tahu kalo sobatnya ini paling payah kalo urusan lari. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
Ia tahu betul siapa yang sudah berhasil memiliki hati sahabatnya itu, bahkan dalam hati ia berharap ada keajaiban untuk kisah cinta yang seharusnya tak perlu terjadi ini pada sahabatnya. Seusai memanjakan mata dengan pemandangan sunset yang memukau di pinggir Pantai Benoa, keempatnya memikirkan acara apa yang asyik untuk malam.
Pasalnya sudah beberapa hari ini, keempatnya menghabiskan malam di bar-bar ternama di Bali. Sepertinya, mereka butuh meluangkan waktu bersama-sama, di Villa yang cukup mewah nan luas milik keluarga Gavin. “Hmm...malam ini gimana kalo kita ngadain barbeque -an di vila? Pada setuju?” cetus Ardio tiba-tiba. Lara dan Echa mengangguk tersenyum, setuju ide brilian dokter bedah jantung tersebut. “Ok! Kalo gitu, gimana kalo sekarang kita belanja keperluannya dulu? Deket vila ada minimarket kecil. Yuk, jalan!” ajak Gavin kemudian.
Keempatnya pun meluncur langsung menuju mini market yang ada di dekat vila. “Astaga!” Echa melonjak kaget saat menemukan ada satu koper besar yang diletakkan di ruang tamu vila mereka. Anehnya, tidak ada mobil ataupun tanda-tanda kehidupan di vila, bahkan sang penjaga vila pun tak menongolkan dirinya. Tapi tau-tau... Lara menemukan sepatu keds biru yang pernah dilihatnya sekali. Apa Keenan di sini?
Hatinya melonjak senang. Dan tak perlu menunggu lama, pria yang hari itu mengenakan kacamata dan pakaian santai, tiba-tiba saja masuk dari arah luar. Nggak tahu kapan datangnya, tapi dia tiba-tiba aja nongolin diri. “Keenan, koper itu punya lo?” Ardio langsung bertanya penuh curiga. Echa menatap binar mata Lara penuh lega, sekaligus mendapati wajah sahabatnya berubah senang. Pria irit ngomong itu hanya mengangguk.
Selanjutnya, tanpa disadari Keenan, matanya refleks menatap genggaman tangan Gavin yang begitu erat pada Lara, yang mengakibatkan aura panas keluar langsung dari dalam tubuhnya. Pria itu mengibaskan pakaiannya, dan mencuri pandang ke arah lain. Lara sadar kalau tatapan datar yang menusuk dari Keenan itu jelas terarah pada genggaman Gavin yang erat padanya, ia bermaksud melonggarkannya, tetapi adik Keenan itu tidak sama sekali melepasnya. Malah, ia melingkarkan tangannya di pundak Lara.
“Habis dari mana aja kalian?” tanya cowok itu menatap mata mereka satu per satu, kecuali Lara. “Seharian ke Tanjung Benoa, water sport . Kok nggak bilang sih kalo lo nyusul? Bukannya kerjaan lo banyak?” tanya Gavin baik-baik. Tapi, bukan seorang Keenan namanya kalo ngejawab sesuatu dengan ramah, “Dokter kan juga butuh liburan. Buktinya Ardio aja bisa nyusul ke sini. Gue nggak boleh?” Ketiganya langsung diam seribu bahasa, hanya Lara yang berani memelototi Keenan marah, ia merasa kesal tiap kali Keenan selalu judes sama adiknya sendiri.
Tetapi Keenan memandang ke arah lain, tak peduli dengan ancaman mata Lara yang mengawasinya, dia malah dengan cueknya membawa kopernya ke kamar, diikuti Ardio dan Gavin yang membawa belanjaan ke dapur belakang. “Wih...Ra, bakalan seru nih gue liat persaingan ketat antara kakakadik yang sama-sama cinta elo,” goda Echa sepeninggal ketiga cowok itu.
“Sst! Enak aja lo ya kalo ngomong. Ngapain sih lagian si Keenan nyusul? Udah bagus dia di Jakarta!” gerutu Lara sebal. Tetapi sobatnya itu tahu betul isi hati Lara yang sebenernya bahagia luar biasa saat tau pujaan hatinya di sini. Echa sengaja menyikut lengan sahabatnya, “Sok lo... ngapain Keenan nyusul lo pikir gue nggak tahu, kalo lo seneng dia ada di sini? Hah?” selanjutnya gadis cantik itu tertawa. “Bacot banget lo, Cha! Ih, siapa sih yang seneng.” Lara masih menutupinya.
“Eh, Keenan... mau ngobrol berdua ya sama Lara?” Echa menjahili sahabatnya, berpurapura mengintip seolah Keenan berdiri di belakang Lara. Sontak Lara refleks nengok ke belakang, dan baru sadar kalo Echa cuma menjahilinya. “ECHA! Monyet lo emang!” Echa melet-melet, “Cieeeee.....” Echa keburu melarikan diri sebelum Lara mengejarnya, dia tahu kalo sobatnya ini paling payah kalo urusan lari. (bersambung)
Oleh:
Vania M. Bernadette
(ars)